Rabu, 11 Januari 2012

Tahun Baru


Semua berpesta dan seolah merasa bahagia. Seharusnya tak harus menyembunyikan kegelisahan yang selalu menderu menghantui perasaan satu demi satu orang yang merayakan pergantian tahun malam ini.  Hampir setiap tangan memegang benda berbagai bentuk, selalu dan selalu benda ini dianggap sirine untuk menandakan bahwa pesta dimulai. Kreatif juga para penjual yang maraup untung di momen yang dianggap special, tahun baru. Dengan segala kemampuan tangan mereka, para penjual membuat berbagai bentuk alat bunyi ini, mulai dari bentuknya yang wajar dengan pangkalnya runcing dan ujunganya lebar dan diselipi sesenti dua senti batang bambo kecil yang menghasilkan bunyi jika ditiup, hingga kertas-kertas bahan pembuat benda ini dilenggak-lenggokkan dan membentuk berbagai wujud yang lucu dan bagus. Inilah, terompet.
Hampir semua orang menganggap malam satu januari sebagai malam yang istimewa hingga saban malam itu banyak orang yang mengagendakan apa yang akan mereka lakukan untuk menikmati malam pergantian tahun. Hingga para santri yang mau tidak mau tetap harus berada di dalam pesantren meski di malam tahun baru hanya bisa memandangi langit lepas di atas bangunan pesantren mereka gemerlapan kilatan-kilatan cahaya, dengungan terompet yang bersahut-sahutan dengan tetap berada di dalam pesantren. Tak sedikit para santri mendesahkan kegelisahan, keingingan, kekecewaan mendalam karena mereka hanya bisa menikmati malam tahun baru mereka dengan sederhana; dengan melihat dan mendengar keriuhan orang-orang di luar gedung mereka. 
di balik meriahnya kembang api

“Semua santri, turun! Semua santri, turun!” teriakan seorang pengurus pesantren membuyarkan santri-santri yang berada di alam terbuka lantai tiga pesantren sekedar untuk melihat kelap kelip kembang api.
“Ada apa, mbak?”
“Semua berkumpul di aula pesantren, sekarang!” teriakan tegas dari seorang keamanan seketika menyigapkan para santri dan berhamburan menuju aula.
“Ada apa sih?” bisik-bisik para santri yang tidak tahu menahu kenapa kesempatan malam tahun baru mereka harus dirusak dengan teriakan seorang keamanan. Beberapa santri meresa tambah kecewa karena kesempatan meliahat cantiknya kembang api harus terpotong dan berganti dengan acara kumpul mendadak di aula.
“Semua sudah berkumpul?” wanita yang sudah dikenal dengan wajah garangnya menyapu semua titik sudut ruangan. Keinginan menjawab ‘iya’ seketika sirna dan hanya sebatas anggukan kepala serempak.
Semua diam, dan hening.
Sosok ibu yang penuh kasih dan cinta sudah berada di antara santri. Wajah para santri yang semula cerah karena sempat menikmati suasana tahun baru walau hanya beberapa menit, juga para santri yang menyimpan rasa kesal pada para keamanan yang mengobrak-abrik momen malam tahun mereka, seketika hilang dan berganti rasa sedih dan sendu.
“Bunda minta maaf jika telah mengganggu malam tahun kalian. Bunda tiba-tiba ingin bersama kalian di malam tahun baru yang kalian bilang momen bahagia..”
Tak ada yang berani berkata-kata, tiba-tiba semua terperangkap rasa sedih gelisah. Rintihan hati terdengar bernyanyi. Wajah bunda yang begitu teduh, kasih dan saying beliau pada siapa saja membekukan tawa dan canda para santri.
“Malam tahun baru tidak harus dirayakan dengan pesta kembang api” semua menunduk.
“Justru, di malam tahun baru ini seharusnya kita lebih banyak berdiam diri dan bertafakur pada Ilahi, nak. Bunda tidak melarang kalian turut menikmati riuhnya pesta terompet dan kembang api, tapi ada yang lebih penting yang harus kalian perhatikan.” Perasaan bersalah tiba-tiba merayapi hati satu demi satu santri yang meresapi perkataan bunda mereka.
“Tetaplah berdo’a, berikhitar untuk menjadi lebih baik. Renungi apa makna kehidupan yang sesungguhnya. Gusti akan lebih senang melihat hamba-Nya jika lahir dan batin dekat dengan-Nya, nak. Carilah sesuatu untuk kemandirian hidupmu, bagaimana seharusnya kalian menjadi insan yang tidak hanya cantik secara fisik.”
“Kesejatian hidup akan memberi tahu kalian sampai mana kalian telah melangkah dan menjalani sekian tahun yang kalian lewati. Perhatikanlah, telitilah dan berhati-hatilah. Bunda akan selalu bersama kalian selama kalian masih bersama dengan keyakinan kalian.”
Bunda berdiri dari duduk timpuhnya, dan meminta dua orang untuk menyangga badan beliau.
“Satu hal, anak-anakku. Jika bunda tidak lagi bersama kalian, bunda harap kalian masih memegang apa yang kalian yakini dengan Gusti kita. Bunda selalu menjaga kalian meski tidak secara lahir. Jaga semua yang kalian miliki, anak-anakku yang tersayang. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh”
Dengan tertaih bunda dibopong oleh kedua perempuan berjilbab yang sudah sangat dikenal sebagai abdi bunda nyai. Para santri masih terdiam membisu, dada tiba-tiba terasa penuh dan sesak. Air mata tak bisa dicegah. Satu kali lagi bunda memberi wejangan, namun kali ini berbeda,
“Semua santri dipersilakan meninggalkan aula.” Suara keamanan yang tadinya lantang dan tegas, kini pun terdengar pecah dan serak. Wajahnya pun tak lagi sangar. Semua santri dengan tertib meninggalkan aula dengan perasaan berkecamuk.
“Bunda…..” suara yang sangat akrab di telinga para santri tiba-tiba memekkan telinga. Belum ada lima menit sejak bunda kembali ke ndalem beliau. Salah seorang abdi bunda keluar ndalem dan berlari menuju aula. Dengan menangis sesenggukan dia berteriak.
“Semua santri kembali ke aula. Semua santri kembali ke aula” suara seraknya tak lagi mampu menguasai aula yang mulai gaduh dan merasa ada sesuatu yang membuat cemas. Para pengurus mengkondisikan agar semua santri kembali ke aula.
“Innalillahi wainnailaihu roji’un” dengan suara terbata-bata mbak Iis memulai berucap di depan santri. Beberapa pengurus sudah berhamburan sigap mengatasi keadaan. Semua santri cemas dan gelisah.
“Teman-teman santri yang tersayang…” mbak Iis diam, bibirnya kelu. Tak henti-hentinya ia mengusap linangan air mata yang tak mau berhenti mengalir.
“Semua santri dimohon tabah dan mengikhlaskan. Semua dimohon berdo’a untuk bunda kita. Bunda telah meninggalkan kita..” Ketua pesantren dengan mimik muka tegar menyambung ucapan mbak Iis. Seketika aula hujan tangis. Dalam suasana sendu, semua santri dibagi tugas untuk persiapan segala sesuatu untuk penghormatan bagi bunda mereka.
Bunda, malam tahun baru kami terasa sangat berbeda dan mengesankan. Terima kasih, bunda. Kau telah bersama kami mala mini. Terima kasih juga, bunda. Semua petuahmu akan kami genggam dan menjadi pegangan kami, anak-anakmu. Terima kasih, Gusti. Engkau telah memberikan kami bunda yang terbaik. Salam saying kami untukmu, bunda nyai.



Pelangi, 31 Desember 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar